Kamis, 13 Februari 2014

Fiksi Sensual Dalam Sastra



 | 07 September 2013 | 21:35 
 
Beberapa saat setelah Event Fiksi Sensual digelar, ada pembicaraan yang cukup menarik dam sedikit hangat. Karena di situ berusaha membedah, apa sebenarnya fiksi sensual. Saya sendiri melemparkan uneg uneg berdasarkan contoh contoh pra event. Karena yang namanya contoh adalah lebih cenderung prototype yang diharapkan. Kalaupun ada tidaknya efek pada postingan yang nantinya muncul saya tidak tahu. Yang jelas bagi saya, beberapa yang contoh yang ada lebih cenderung ke fiksi area biru. 

Kata SENSUAL dalam kamus bahasa Indonesia berarti hal berhubungan dng kenikmatan yg bersifat naluri. Sensualisme adalah ajaran yang menganggap bahwa pengetahuan didasarkan kepada sesuatu yang bisa ditangkap panca indra. Sedang sensualitas adalah perihal yang yang berkaitan dengan fisik, segala sesuatu yang bisa ditangkap oleh panca indra.

Jika digabung, Fiksi Sensual, sesuai bahasa yang ada. Fiksi yang lebih banyak menceritakan dan menghasilkan kenikmatan secara rohani. Lalu bagaimana yang ada di dalam event Fiksiana. Lagi lagi semua tergantung para penulis itu sendiri. Dari yang saya baca, ada yang masih mengangkat peristiwa yang berbau ranjang, eksplorasi bentuk tubuh dan sensualitas raga. Ada yang sama sekali tidak membahas tubuh. Dalam tulisan ini saya membahas tentang sensual yang menitikberatkan pada eksplorasi tubuh, aktifitas ranjang dan mungkin juga vulgaritas bahasa. Di sini bukan hanya berbicara tentang libido tetapi juga estetika sebuah karya terutama estetika bahsa.. Jika ada arti sensual yang tidak berhubungan dengan hal yang sebut di atas itu saya serahkan kepada masing masing penulis dalam mendeskripsikan istilah tersebut.

Sensual, dalam persepsi umum, dan yang banyak dijumpai sering dilekatkan pada sosok makhluk yang bernama perempuan. Dari sudut pandang perempuan mungkin sosok tersebut adalah lelaki. Dalam hubungannya dengan perjalanan sastra Indonesia kita bisa menemukan banyak jejak dan pengaruhnya.Bila tadinya sastra yang ada adalah penuh bahasa indah dan memerlukan perenungan , seketika berubah. Adalah Ayu Utami seorang perempuan pendobrak dengan karyanya berjudul Saman dan Larung. Kemudian diikuti kemunculan Njenar mahesa Ayu. Kemunculan Ayu utami adalah kemunculan warna baru dalam sastra Indonesia. Genre ini dalam penggunaan bahasa lebih banyak ke bahasa vulgar yang sebelumnya dianggap tabu. Misalnya dalam penggalan tulisan Ayu Utami

”Dan aku menamainya klenit karena serupa kontol yang kecil. Namun liang itu tidak diberinya sebuah nama. Melainkan, dengan ujung jarinya ia merogoh. Dan dengan penisnya ia menembus” (Saman, Ayu Utami)
Atau juga

Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak mengisap puting payudara ibu. Saya mengisap penis ayah. Dan saya tidak menyedot air susu ibu. Saya menyedot air mani ayah…. (Djenar Maesa Ayu, Menyusu Ayah).

Bagi Ayu Utami penggunakan kata kata vulgar tersebut adalah sebagai pesan dari kesetaraan gender yang ia kumandangkan. Ia tidak mau terbelenggu bahasa yang patrialis. Bahasa yang selama ini membelenggu arti dari yang dia maksud. Bila selama ini budaya yang ada adalah bahasa yang diperhalus, bahasa yang eufimisme, maka dengan karyanya Ayu utami ingin membebaskan bahasa dari hal yang demikian. Jadi kevulgaran yang ada itu untuk melepaskan makna yang terkandung di dalamnya dari kungkungan. Seperti salah satu kalimat yang ada, ““puting yang dihisap”. Bagi dirinya, pilihan kata itu lebih bisa mengungkapkan seorang perempuan yang menguasai dirinya sendiri, tanpa terbelenggu. 

Setelah Ayu Utami bermunculanlah penulis dengan gaya bahasa yang sejenis. Seperti Djenar Mahesa Ayu, dengan karyanya berjudul Jangan Main Main dengan kelaminmu, Naning Pranoto dengan Wajah Sebuah vagina-nya dan lainnya. Yang hampir semuanya adalah penulis perempuan yang masih muda. Dengan kemunculan mereka akhirnya muncullah istilah Sastra Wangi. Ada beberapa nama yang lain misalnya Nukila Amal, Dewi Lestari, Rieke Dyah Pitaloka, Dinar Rahayu dan lainnya. Kesemuanya berbicara mengatasnamakan hak asasi untuk berbicara tentang dirinya sendiri. Sebagai hak asasi, tentunya hak yang tidak bisa ditanggalkan dari dirinya. Termasuk berbicara dengan tulisan dengan caranya sendiri. Seorang Dosen UI, Ibnu Wahyudi pernah mengatakan bahwa sastra wangi adalah istilah sesaat bagi kepopuleran sastra generasi perempuan yang mengandalkan tubuh. Bisa jadi ini merujuk dengan penggunaan vulgarisme bahasa dan fisik penulisnya. Itu bisa kita lihat pada Misal Ayu Utami dan Mahesa Ayu.

Bila kita lihat, karya karya yang terkategori Sastra Wangi tersebut, lebih didasarkan pada banyaknya bumbu seks, yang tak jarang dengan penggunaan bahasa yang vulgar dalam mengeksplorasi bagian tubuh dan mengangkat tentang feminism. Setting ceritanya pun lebih banyak adalah keseharian dari tokoh tokoh yang kebanyakan dari kelas menengah ke atas. Juga terlihat adanya egoisme dan sifat individualism yang tinggi.

Salah seorang sastrawan Indonesia, Taufiq Ismail menangggapi tentang karya yang mengesampingkan eufimisme dan cenderung menggunakan bahasa yang vulgar, menyebutkan sebagai sastra madzab “selangkangan”. Karena di situ seringnya menggunakan istilah yang terlalu vulgar. Sedang Penulis Ayat Ayat Cinta secara terang terang menyebutkan bahwa sastra wangi itu karya yang tidak punya estetika bahasa.

Memang banyak perdebatan ketika berbicara tentang sastra wangi. Bagi Ayu Utami, bahasa harus netral, eufimisme bahasa menjadikan bahasa itu bersifat manusia. Misal Ayu Utami lebih senang menyebut “Titit” untuk alat kelamin lelaki dalah bahasa jawa. Daripada menyebut ‘alat Vital” disitu dia merasakan kekuatan yang sebenarnya, tanpa terbelenggu eufimisme atau penyantunan atau penghalusan bahasa. Maka dari itu bahasa yang digunakan Ayu Utami dan penulis sastra wangi lainnya, terlihat vulgar, sarkastik dan bebas. Dari sisi lain ada pendapat Bagaimanapun sebuah karya harus mempertimbangkan etika. Sebagai kita makhluk yang beradab.

Penulis penulis yang terkategori sastrawangi ini, seolah ingin meneriakkan sebuah “emansipasi” perempuan sehingga dunia bisa tahu bahwa perempuan mempunyai kekuatan perkasa. Tidak hanya lelaki. Maka penggunaan kata kata vulgar tersebut seolah sebagai tombak untuk menusuk dominasi lelaki.Tetapi dalam perkembangannya sastra wangi ini bukan hanya milik perempuan. Tidak jarang lelaki dalam menuliskan karyanya dengan bahasa yang vulgar. Dalam kasus ini mungkin perlu dipertanyakan, apa motifnya ? hehe.
Untuk masalah emansipasi ini sebenarnya penulis penulis terdahulu sudah menyuarakan. Tetapi mereka masih penggunaan bahasa yang lebih halus dengan eufimisme. Pertanyaannya, apakah munculnya sastra wangi ini baik atau buruk? 

Dalam wacana post modern, Yasraf Amir Piliang, dalam tulisannya menduga ada keterkaitan sastra wangi ini dengan kapitalisme ekonomi. Dengan bergeraknya selera pasar ke hal hal yang berkaitan dengan libido, bisa dikatakan sebagai Libidonimic. Di mana libido dieksplorasi sedemikian rupa untuk menjaring pasar. Karena libido itu adalah komoditi yang sangat menguntungkan. Jika itu yang terjadi, memang demikiankah pasar atau penikmat karya fiksi di Indonesia?

Penggunaan bahasa bahasa vulgar dalam karya sastra, atau dalam bahasa Damhuri Muhammad sebagai “vulgaritas bahasa” bisa menjadi proses terperosoknya karya sastra ke dalam jurang kerendahan estetika. Di dalam wacana postmodern ini, disebut dengan istilah . Kitsch. Berasal dari bahasa jerman : verkitchen yang artinya menjadikan murah. Dengan demikian bisa diartikan sebagai selera yang rendah. Dalam konteks seni seringkali disebut sampah estetika.

Ehmm, hal ini tentu akan menjadikan para penulis yang sepakat dengan gaya bahasa sastra wangi akan meradang. Tetapi inilah yang ada. Ada yang bilang, bahwa penggunaan bahasa ala sastra wangi adalah sah sah saja. Bahkan sangat sah. Bilapun pembaca menjadi berfantasi yang masuk area biru. Itu salahnya pembaca sendiri kenapa punya pikiran seperti itu. Jangan jangan otaknya memang otak biru. (katanya sambil terbahak.)

Di dalam sebuah karya, menurut saya, tentu dibuat untuk sebuah tujuan. Apalah arti sebuah karya jika tidak ada tujuan. Dan apalah arti tujuan bila tidak sampai ke pembaca. Salah satu kepuasan penulis adalah bila tulisannya bisa dibaca dan maksud yang ia sampaikan lewat tulisan bisa dipahami. Jadi suatu karya, ketika dibaca dan dicermati ternyata yang ada hanyalah unsure sensualitas tubuh dan erotisme. Apalagi peristiwa ranjang? Nilai apa yang hendak disampaikan? Dengan menganggap pembaca punya pikiran kotor tentu bukan jawaban yang cerdas dan terkesan emosi. Karena pembaca juga mempunyai nilai nilai yang dia fahami tapi berbeda sudut pandang. Sedang ungkapan ungkapan area biru bagi mereka bukan masalah libido saja. Tapi dari sisi estetika. Estetika sebuah karya . Yang dikhawatirkan, penulisan penulisan hal tersebut sebenarnya adalah bentuk luapan ‘aspirasi” dari bawah sadarnya. Sebuah ledakan dari idealism dari ego dalam memandang kehidupan. Bila dari awal munculnya sastra wangi adalah untuk menyuarakan feminisme. Jika memang demikian, apakah dengan cara menabrak etika dan budaya kita sebagai orang timur juga agama kita?

Anda mungkin saja menjawab sambil menertawakan, ‘hei bro budaya itu apa sih? Budaya itu tergantung kita manusianya, bila itu memang baik bagi kita, why not? Dan budaya itu berkembang, dulu ada jaman batu, sekarang jaman internet. Kalau dulu bahasa konotasi yang bagi sebagian dianggap indah. Apa salahnya bila budaya “vulgar” menggilas ketabuan yang membelenggu? Semuanya bagi manusia itu sendiri, seberapa nyamannya dia. Bukan jamannya lagi bro, menyimpan ketabuan di era keterbukaan di mana perlu dan berhak tahu apa yang ada. Sedang agama? Orang orang yang beragama itu cenderung munafik, nyatanya banyak dari mereka justru pelaku dosa yang sebenarnya. 

Bila kita tidak lagi mengindahkan budaya dasar atau agama kita, apalagi yang akan kita jadikan pegangan? Bila sedikit membaca tentang “peletak dasar” sastra wangi, yaitu Ayu Utami, sebenarnya apa yang ada dalam dirinya adalah sebuah proses pencarian identitas. Proses yang ia jalani dalam memandang kehidupan. Tulisan tulisannya adalah bentuk psikis dan idealismenya dalam memandang kehidupan secara general. Dalam pengakuannya, Ayu Utami awalnya seorang yang sangat religius. Di awal umur 20an dia mulai tidak percaya lagi akan agama karena dia banyak melihat perselisihan dan “budaya patriakal” di dalamnya. Mungkin karena itulah sisi feminimnya meledak.Kemudian di awal 30an dia mempunyai pandangan baru tentang agama. Diapun pernah berkata, “Meski benci agama pada satu periode, tapi agama sudah batubata dalam diriku.”

Ada yang bilang juga, sastra itu termasuk seni. Dan seni itu penuh kebebasan. Jadi seseorang harus bebas dari batasan batasan. Atas nama seni. Jika demikian, tentu boleh seseorang itu menjadi pembunuh berantai dengan korbannya sebagai hasil dari seni menurut dirinya. Karena di situ dia bisa melihat dan merasakan sebuah cita rasa tinggi sebuah seni dengan media darah dan tubuh manusia alias korbannya. Tidak boleh? Bukankah seni itu bebas? Bebas sebebas bebasnya? Terus jika tidak boleh apa yang menjadi batasannya? Bukankah tadi dibilang sastra bebas tanpa ada batasan? Katanya akan terasa hambar. Terus bagaimana dengan ketelanjangan, dengan erotisme?

Sebagai penutup. Saya ingin berkata, mari kita berkarya. Berkarya untuk memanusiakan kita sebagai manusia. Juga untuk memberikan manfaat bagi oranglain. JIka ada perdebatan di dalam menilai. Kita kembalikan pada diri kita sendiri, apa yang sebenarnya kita tulis dan untuk apakah? Dan mari secara jujur pada diri sendiri bahwa karya kita memang aktualisasi dari pemikiran kita . 

Salam bercahaya dan sama berkarya

0 komentar:

Posting Komentar