| 07 September 2013 | 21:35
Beberapa saat setelah Event Fiksi Sensual digelar, ada
pembicaraan yang cukup menarik dam sedikit hangat. Karena di situ berusaha
membedah, apa sebenarnya fiksi sensual. Saya sendiri melemparkan uneg uneg
berdasarkan contoh contoh pra event. Karena yang namanya contoh adalah lebih
cenderung prototype yang diharapkan. Kalaupun ada tidaknya efek pada postingan
yang nantinya muncul saya tidak tahu. Yang jelas bagi saya, beberapa yang
contoh yang ada lebih cenderung ke fiksi area biru.
Kata SENSUAL dalam kamus bahasa Indonesia berarti hal
berhubungan dng kenikmatan yg bersifat naluri. Sensualisme adalah ajaran yang
menganggap bahwa pengetahuan didasarkan kepada sesuatu yang bisa ditangkap
panca indra. Sedang sensualitas adalah perihal yang yang berkaitan dengan
fisik, segala sesuatu yang bisa ditangkap oleh panca indra.
Jika digabung, Fiksi Sensual, sesuai bahasa yang ada. Fiksi
yang lebih banyak menceritakan dan menghasilkan kenikmatan secara rohani. Lalu
bagaimana yang ada di dalam event Fiksiana. Lagi lagi semua tergantung para
penulis itu sendiri. Dari yang saya baca, ada yang masih mengangkat peristiwa
yang berbau ranjang, eksplorasi bentuk tubuh dan sensualitas raga. Ada yang
sama sekali tidak membahas tubuh. Dalam tulisan ini saya membahas tentang
sensual yang menitikberatkan pada eksplorasi tubuh, aktifitas ranjang dan
mungkin juga vulgaritas bahasa. Di sini bukan hanya berbicara
tentang libido tetapi juga estetika sebuah karya terutama estetika bahsa.. Jika
ada arti sensual yang tidak berhubungan dengan hal yang sebut di atas itu saya
serahkan kepada masing masing penulis dalam mendeskripsikan istilah tersebut.
Sensual, dalam persepsi umum, dan yang banyak dijumpai
sering dilekatkan pada sosok makhluk yang bernama perempuan. Dari sudut pandang
perempuan mungkin sosok tersebut adalah lelaki. Dalam hubungannya dengan
perjalanan sastra Indonesia kita bisa menemukan banyak jejak dan
pengaruhnya.Bila tadinya sastra yang ada adalah penuh bahasa indah dan
memerlukan perenungan , seketika berubah. Adalah Ayu Utami seorang perempuan
pendobrak dengan karyanya berjudul Saman dan Larung. Kemudian diikuti
kemunculan Njenar mahesa Ayu. Kemunculan Ayu utami adalah kemunculan warna baru
dalam sastra Indonesia. Genre ini dalam penggunaan bahasa lebih banyak ke
bahasa vulgar yang sebelumnya dianggap tabu. Misalnya dalam penggalan tulisan
Ayu Utami
”Dan
aku menamainya klenit karena serupa kontol yang kecil. Namun liang itu tidak
diberinya sebuah nama. Melainkan, dengan ujung jarinya ia merogoh. Dan dengan
penisnya ia menembus” (Saman, Ayu Utami)
Atau
juga
Nama
saya Nayla. Saya perempuan, tapi tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena, saya
tidak mengisap puting payudara ibu. Saya mengisap penis ayah. Dan saya tidak
menyedot air susu ibu. Saya menyedot air mani ayah…. (Djenar Maesa Ayu, Menyusu
Ayah).
Bagi Ayu Utami penggunakan kata kata vulgar tersebut adalah
sebagai pesan dari kesetaraan gender yang ia kumandangkan. Ia tidak mau
terbelenggu bahasa yang patrialis. Bahasa yang selama ini membelenggu arti dari
yang dia maksud. Bila selama ini budaya yang ada adalah bahasa yang diperhalus,
bahasa yang eufimisme, maka dengan karyanya Ayu utami ingin membebaskan bahasa
dari hal yang demikian. Jadi kevulgaran yang ada itu untuk melepaskan makna
yang terkandung di dalamnya dari kungkungan. Seperti salah satu kalimat yang
ada, ““puting yang dihisap”. Bagi
dirinya, pilihan kata itu lebih bisa mengungkapkan seorang perempuan yang
menguasai dirinya sendiri, tanpa terbelenggu.
Setelah Ayu Utami bermunculanlah penulis dengan gaya bahasa
yang sejenis. Seperti Djenar Mahesa Ayu, dengan karyanya berjudul Jangan Main
Main dengan kelaminmu, Naning Pranoto dengan Wajah Sebuah vagina-nya dan
lainnya. Yang hampir semuanya adalah penulis perempuan yang masih muda. Dengan
kemunculan mereka akhirnya muncullah istilah Sastra Wangi. Ada beberapa nama
yang lain misalnya Nukila Amal, Dewi Lestari, Rieke Dyah Pitaloka, Dinar Rahayu
dan lainnya. Kesemuanya berbicara mengatasnamakan hak asasi untuk berbicara
tentang dirinya sendiri. Sebagai hak asasi, tentunya hak yang tidak bisa
ditanggalkan dari dirinya. Termasuk berbicara dengan tulisan dengan caranya
sendiri. Seorang Dosen UI, Ibnu Wahyudi pernah mengatakan bahwa sastra wangi
adalah istilah sesaat bagi kepopuleran sastra generasi perempuan yang
mengandalkan tubuh. Bisa jadi ini merujuk dengan penggunaan vulgarisme bahasa
dan fisik penulisnya. Itu bisa kita lihat pada Misal Ayu Utami dan Mahesa Ayu.
Bila kita lihat, karya karya yang terkategori Sastra Wangi
tersebut, lebih didasarkan pada banyaknya bumbu seks, yang tak jarang dengan
penggunaan bahasa yang vulgar dalam mengeksplorasi bagian tubuh dan mengangkat
tentang feminism. Setting ceritanya pun lebih banyak adalah keseharian dari
tokoh tokoh yang kebanyakan dari kelas menengah ke atas. Juga terlihat adanya
egoisme dan sifat individualism yang tinggi.
Salah seorang sastrawan Indonesia, Taufiq Ismail
menangggapi tentang karya yang mengesampingkan eufimisme dan cenderung menggunakan
bahasa yang vulgar, menyebutkan sebagai sastra madzab “selangkangan”. Karena di
situ seringnya menggunakan istilah yang terlalu vulgar. Sedang Penulis Ayat
Ayat Cinta secara terang terang menyebutkan bahwa sastra wangi itu karya yang
tidak punya estetika bahasa.
Memang banyak perdebatan ketika berbicara tentang sastra
wangi. Bagi Ayu Utami, bahasa harus netral, eufimisme bahasa menjadikan bahasa
itu bersifat manusia. Misal Ayu Utami lebih senang menyebut “Titit” untuk alat
kelamin lelaki dalah bahasa jawa. Daripada menyebut ‘alat Vital” disitu dia
merasakan kekuatan yang sebenarnya, tanpa terbelenggu eufimisme atau
penyantunan atau penghalusan bahasa. Maka dari itu bahasa yang digunakan Ayu
Utami dan penulis sastra wangi lainnya, terlihat vulgar, sarkastik dan bebas.
Dari sisi lain ada pendapat Bagaimanapun sebuah karya harus mempertimbangkan
etika. Sebagai kita makhluk yang beradab.
Penulis penulis yang terkategori sastrawangi ini, seolah
ingin meneriakkan sebuah “emansipasi” perempuan sehingga dunia bisa tahu bahwa
perempuan mempunyai kekuatan perkasa. Tidak hanya lelaki. Maka penggunaan kata
kata vulgar tersebut seolah sebagai tombak untuk menusuk dominasi lelaki.Tetapi
dalam perkembangannya sastra wangi ini bukan hanya milik perempuan. Tidak
jarang lelaki dalam menuliskan karyanya dengan bahasa yang vulgar. Dalam kasus
ini mungkin perlu dipertanyakan, apa motifnya ? hehe.
Untuk masalah emansipasi ini sebenarnya penulis penulis
terdahulu sudah menyuarakan. Tetapi mereka masih penggunaan bahasa yang lebih
halus dengan eufimisme. Pertanyaannya, apakah munculnya sastra wangi ini baik
atau buruk?
Dalam wacana post modern, Yasraf Amir Piliang, dalam
tulisannya menduga ada keterkaitan sastra wangi ini dengan kapitalisme ekonomi.
Dengan bergeraknya selera pasar ke hal hal yang berkaitan dengan libido, bisa
dikatakan sebagai Libidonimic. Di mana libido dieksplorasi sedemikian rupa
untuk menjaring pasar. Karena libido itu adalah komoditi yang sangat
menguntungkan. Jika itu yang terjadi, memang demikiankah pasar atau penikmat
karya fiksi di Indonesia?
Penggunaan bahasa bahasa vulgar dalam karya sastra, atau
dalam bahasa Damhuri Muhammad sebagai “vulgaritas bahasa” bisa menjadi proses
terperosoknya karya sastra ke dalam jurang kerendahan estetika. Di dalam wacana
postmodern ini, disebut dengan istilah . Kitsch. Berasal dari bahasa jerman : verkitchen yang artinya menjadikan murah. Dengan demikian bisa diartikan sebagai selera yang rendah. Dalam
konteks seni seringkali disebut sampah estetika.
Ehmm, hal ini
tentu akan menjadikan para penulis yang sepakat dengan gaya bahasa sastra wangi
akan meradang. Tetapi inilah yang ada. Ada yang bilang, bahwa penggunaan bahasa
ala sastra wangi adalah sah sah saja. Bahkan sangat sah. Bilapun pembaca
menjadi berfantasi yang masuk area biru. Itu salahnya pembaca sendiri kenapa
punya pikiran seperti itu. Jangan jangan otaknya memang otak biru. (katanya
sambil terbahak.)
Di dalam sebuah
karya, menurut saya, tentu dibuat untuk sebuah tujuan. Apalah arti sebuah karya
jika tidak ada tujuan. Dan apalah arti tujuan bila tidak sampai ke pembaca.
Salah satu kepuasan penulis adalah bila tulisannya bisa dibaca dan maksud yang
ia sampaikan lewat tulisan bisa dipahami. Jadi suatu karya, ketika dibaca dan
dicermati ternyata yang ada hanyalah unsure sensualitas tubuh dan erotisme.
Apalagi peristiwa ranjang? Nilai apa yang hendak disampaikan? Dengan menganggap
pembaca punya pikiran kotor tentu bukan jawaban yang cerdas dan terkesan emosi.
Karena pembaca juga mempunyai nilai nilai yang dia fahami tapi berbeda sudut
pandang. Sedang ungkapan ungkapan area biru bagi mereka bukan masalah libido
saja. Tapi dari sisi estetika. Estetika sebuah karya . Yang dikhawatirkan,
penulisan penulisan hal tersebut sebenarnya adalah bentuk luapan ‘aspirasi”
dari bawah sadarnya. Sebuah ledakan dari idealism dari ego dalam memandang
kehidupan. Bila dari awal munculnya sastra wangi adalah untuk menyuarakan
feminisme. Jika memang demikian, apakah dengan cara menabrak etika dan budaya
kita sebagai orang timur juga agama kita?
Anda mungkin saja
menjawab sambil menertawakan, ‘hei bro budaya itu apa sih? Budaya itu
tergantung kita manusianya, bila itu memang baik bagi kita, why not? Dan budaya
itu berkembang, dulu ada jaman batu, sekarang jaman internet. Kalau dulu bahasa
konotasi yang bagi sebagian dianggap indah. Apa salahnya bila budaya “vulgar”
menggilas ketabuan yang membelenggu? Semuanya bagi manusia itu sendiri,
seberapa nyamannya dia. Bukan jamannya lagi bro, menyimpan ketabuan di era
keterbukaan di mana perlu dan berhak tahu apa yang ada. Sedang agama? Orang
orang yang beragama itu cenderung munafik, nyatanya banyak dari mereka justru
pelaku dosa yang sebenarnya.
Bila kita tidak
lagi mengindahkan budaya dasar atau agama kita, apalagi yang akan kita jadikan
pegangan? Bila sedikit membaca tentang “peletak dasar” sastra wangi, yaitu Ayu
Utami, sebenarnya apa yang ada dalam dirinya adalah sebuah proses pencarian
identitas. Proses yang ia jalani dalam memandang kehidupan. Tulisan tulisannya
adalah bentuk psikis dan idealismenya dalam memandang kehidupan secara general.
Dalam pengakuannya, Ayu Utami awalnya seorang yang sangat religius. Di awal
umur 20an dia mulai tidak percaya lagi akan agama karena dia banyak melihat
perselisihan dan “budaya patriakal” di dalamnya. Mungkin karena itulah sisi
feminimnya meledak.Kemudian di awal 30an dia mempunyai pandangan baru tentang
agama. Diapun pernah berkata, “Meski benci agama pada satu periode, tapi agama
sudah batubata dalam diriku.”
Ada yang bilang
juga, sastra itu termasuk seni. Dan seni itu penuh kebebasan. Jadi seseorang
harus bebas dari batasan batasan. Atas nama seni. Jika demikian, tentu boleh
seseorang itu menjadi pembunuh berantai dengan korbannya sebagai hasil dari
seni menurut dirinya. Karena di situ dia bisa melihat dan merasakan sebuah cita
rasa tinggi sebuah seni dengan media darah dan tubuh manusia alias korbannya.
Tidak boleh? Bukankah seni itu bebas? Bebas sebebas bebasnya? Terus jika tidak
boleh apa yang menjadi batasannya? Bukankah tadi dibilang sastra bebas tanpa
ada batasan? Katanya akan terasa hambar. Terus bagaimana dengan ketelanjangan,
dengan erotisme?
Sebagai penutup.
Saya ingin berkata, mari kita berkarya. Berkarya untuk memanusiakan kita
sebagai manusia. Juga untuk memberikan manfaat bagi oranglain. JIka ada perdebatan
di dalam menilai. Kita kembalikan pada diri kita sendiri, apa yang sebenarnya
kita tulis dan untuk apakah? Dan mari secara jujur pada diri sendiri bahwa
karya kita memang aktualisasi dari pemikiran kita .
Salam bercahaya
dan sama berkarya
0 komentar:
Posting Komentar