Kamis, 13 Februari 2014

Malam Malam Majnun: Other Side of Love





Matanya menatap sayu. Seakan kehilangan api yang selama ini membakar semangat hidup. Duduk di teras belakang rumah dengan segelas kopi yang agak dingin karena tidak segera diseruput.

“Ada apakah dengan mu Din?” Seperti tidak ada cahaya di matamu?” Tanyaku.



Bibirnya yang indah tersenyum tipis. “Tidak apa apa, Mas” Sesaat sepi. Nampak dia menghela nafas agak panjang. Aku masih menatapnya mencari sebuah jawab. Jawaban yang sesuai dengan keinginanku.

“Mas, bagaimana kalau mulai besok kita tidak bersapa, berbicara ataupun tidak bertemu?” Wajahnya masih terlihat sayu menatapku. Plaasss! Ada rasa yang tiba tiba lepas dari dadaku. Rasa lemaspun menjalar ke tungkai kakiku. Nafasku terasa menyesak.

“Kenapa kamu berkata begitu Din? Tidak, tidak.. aku tidak bisa…” Kataku dengan suara berat.
“Jangan berkata tidak dulu, kita kan belum mencoba..”
 
Matanya masih sayu. Dan sekarang mata itu menuju mataku. Mata yang penuh harap. Ada beberapa pancaran yang bisa aku baca. Tapi aku takut untuk membacanya lebih jauh. Aku masih terdiam. Sedang mata itu masih saja ke arahku. Menunggu.

Suara deru motor yang bersliweran berbaur dengan riuh suara manusia dengan urusannya masing masing. Sudah sepuluh menit mata sayu itu masih saja menatap ke arahku yang tidak bisa berkata. Bagaimana bisa aku harus tidak bersapa dengannya. Dan akupun takut. Yah merasa takut.takut yang tidak mau aku jelaskan.
“Tidak bisakah ku jawab tidak?” Tanyaku

“Dicoba dulu yah?! “ bibirnya sedikit tersenyum.
“Tidak, aku tidak bisa! “ kataku.
Dini melangkah masuk rumah.dengan meninggalkan sedikit senyum tanpa rasa.

***

Terkejap mata ini. Hari sudah pagi. Tanganku segera menyusuri kasur mencari sekeping gadget. Ku pijit pijit. Ahh masih jam empat pagi. Dan tidak ada sapaan dari dia seperti biasanya. Ku cari nomernya hendak ku telepon. Tapi bukankah semalam dia ingin tanpa sapa? Apakah dia telah berubah? Bukankah selama ini dia selalu mengatakan bahwa apa yang ada akan selalu seperti biasanya selama ini?

Pagi berlalu. Siangpun berjalan pelan. Dan sorepun enggan datang. Aku masih tergeletak di dalam rumah ini. Bangun sesekali hanya untuk membersihkan diri atau mengambil sedikit cemilan. Lapar? Tidak. Tidak ada lapar sama sekali. Padahal biasanya sehari ku bisa makan empat kali kalau pas mau. Ku lihat kertas kerja

. Ahh .Biarkan saja terserak di meja. Ku tak lagi bisa berpikir. Lagian buat apa , karena yang paling penting sebuah hidup adalah nafas. Dan Nafas itu adalah bersama dengan orang yang paling mengerti dan orang yang tersimpan di hati. Bermacam prasangka datang. Prasangka yang kebanyakan tanpa dasar. Tapi semua merangsek masuk penuhi rongga kelapa. Menjadikan aku tidak bisa berpikir jernih. Menjelang senja, ruangan ini terasa sangat menyesakkan. Akhirnya ku laju sepeda motorku menuju pantai. Ruang yang luaspun masih saja terasa sesak. Sesak tanpa mampu untuk ku keluarkan. Meskipun sesak begitu ternyata terasa ampang, kosong alias hampa. Ku berputar memutari kota. Menyusupkan pandangan ke tiap sudut bangunan bangunan beton.

Menjelang isya, aku terpaku di taman kota. Sambil bersandar, ku kembali menatap sepasang mata yang selama ini bersama. Ada apakah dengan dirimu? Sehingga tak boleh bersapa lagi? Adakah yang salah? Kenapa tidak bilang apa salahku? Akhirnya ku pencet nomer telponnya.

“Tuuuuttt… Tuuuutttt… Tuuuutttt Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau di luar area.”
Sekali lagi ku coba, dua kali, tiga kali sampai akhirnya sepuluh kali. Masih saja sama. Ahh.. benarkah dia berubah. Aku sms berulang kali tidak dibalas juga.

Jam telah berangka 10 malam. Masih saja ku coba telpon tapi masih saja tidak diangkat. Dengan rasa lemas dan gundah, perlahan aku menuju rumah. Rumah terlihat gelap karena waktu ku tinggal masih terang. Ku buka pintu. Duhh tidak aku kunci. Semoga tidak ada maling yang ambil kesempatan. Ku raba saklar lampu. Dan ku tekan. Menyala!

Aku terkesiap. Saat gelap hilang. Dan berganti dengan warna terang. Ada sesosok yang sangat ku kenal. Dini. Yang sedari tadi bangun tidur selalu saja aku pikirkan. Dia tersenyum, matanya tiada lagi sayu.

“ Kenapa ke sini? “ Ahhh pertanyaan bodohku kambuh.

“ Karena memang harusnya di sini.” Dini menjawab pelan. Dia berdiri menghampiriku yang masih saja tidak percaya tapi bahagia. “Kenapa engkau pulang terlalu malam?”

“Karena ku tak tahu harus bagaimana membuang resah memikirkan mu.”
“Padahal sejak senja tiba aku sudah di sini. Ku lihat kamu melaju keluar.” Kata Dini
“Hei kenapa engkau tak panggil aku?”

“ Karena aku pengin melihat hatimu. Apakah engkau memikirkan aku benar benar atau tidak.
“Engkau ini.. terlalu sesak dada ini penuh dengan namamu. Aku telpon dan sms kenapa tidak di balas?”

Dini tersenyum. “waktu itu akupun melihat handphone ku. Ingin ku angkat, tapi aku tidak mau sekedar suara. Aku menginginkanmu langsung di hadapanku. Sehingga bisa ku lihat nyata, apa yang selama ini engkau katakan. Karena sesungguhnya bukan kamu saja yang merasakannya. Akupun iya, hanya saja kupendam dalam diam.

Ku tatap matanya. Mata itu kembali bercahaya. Bahkan malam ini lebih bercahaya..

0 komentar:

Posting Komentar