Matanya
menatap sayu. Seakan kehilangan api yang selama ini membakar semangat hidup.
Duduk di teras belakang rumah dengan segelas kopi yang agak dingin karena tidak
segera diseruput.
“Ada
apakah dengan mu Din?” Seperti tidak ada cahaya di matamu?” Tanyaku.
Bibirnya
yang indah tersenyum tipis. “Tidak apa apa, Mas” Sesaat sepi. Nampak dia
menghela nafas agak panjang. Aku masih menatapnya mencari sebuah jawab. Jawaban
yang sesuai dengan keinginanku.
“Mas,
bagaimana kalau mulai besok kita tidak bersapa, berbicara ataupun tidak
bertemu?” Wajahnya masih terlihat sayu menatapku. Plaasss! Ada rasa yang tiba
tiba lepas dari dadaku. Rasa lemaspun menjalar ke tungkai kakiku. Nafasku
terasa menyesak.
“Kenapa
kamu berkata begitu Din? Tidak, tidak.. aku tidak bisa…” Kataku dengan suara
berat.
“Jangan
berkata tidak dulu, kita kan belum mencoba..”
Matanya
masih sayu. Dan sekarang mata itu menuju mataku. Mata yang penuh harap. Ada
beberapa pancaran yang bisa aku baca. Tapi aku takut untuk membacanya lebih
jauh. Aku masih terdiam. Sedang mata itu masih saja ke arahku. Menunggu.
Suara
deru motor yang bersliweran berbaur dengan riuh suara manusia dengan urusannya
masing masing. Sudah sepuluh menit mata sayu itu masih saja menatap ke arahku
yang tidak bisa berkata. Bagaimana bisa aku harus tidak bersapa dengannya. Dan
akupun takut. Yah merasa takut.takut yang tidak mau aku jelaskan.
“Tidak
bisakah ku jawab tidak?” Tanyaku
“Dicoba
dulu yah?! “ bibirnya sedikit tersenyum.
“Tidak,
aku tidak bisa! “ kataku.
Dini
melangkah masuk rumah.dengan meninggalkan sedikit senyum tanpa rasa.
***
Terkejap
mata ini. Hari sudah pagi. Tanganku segera menyusuri kasur mencari sekeping
gadget. Ku pijit pijit. Ahh masih jam empat pagi. Dan tidak ada sapaan dari dia
seperti biasanya. Ku cari nomernya hendak ku telepon. Tapi bukankah semalam dia
ingin tanpa sapa? Apakah dia telah berubah? Bukankah selama ini dia selalu
mengatakan bahwa apa yang ada akan selalu seperti biasanya selama ini?
Pagi
berlalu. Siangpun berjalan pelan. Dan sorepun enggan datang. Aku masih
tergeletak di dalam rumah ini. Bangun sesekali hanya untuk membersihkan diri
atau mengambil sedikit cemilan. Lapar? Tidak. Tidak ada lapar sama sekali.
Padahal biasanya sehari ku bisa makan empat kali kalau pas mau. Ku lihat kertas
kerja
. Ahh .Biarkan saja terserak di meja. Ku tak lagi bisa berpikir. Lagian
buat apa , karena yang paling penting sebuah hidup adalah nafas. Dan Nafas itu
adalah bersama dengan orang yang paling mengerti dan orang yang tersimpan di
hati. Bermacam prasangka datang. Prasangka yang kebanyakan tanpa dasar. Tapi
semua merangsek masuk penuhi rongga kelapa. Menjadikan aku tidak bisa berpikir
jernih. Menjelang senja, ruangan ini terasa sangat menyesakkan. Akhirnya ku
laju sepeda motorku menuju pantai. Ruang yang luaspun masih saja terasa sesak.
Sesak tanpa mampu untuk ku keluarkan. Meskipun sesak begitu ternyata terasa
ampang, kosong alias hampa. Ku berputar memutari kota. Menyusupkan pandangan ke
tiap sudut bangunan bangunan beton.
Menjelang
isya, aku terpaku di taman kota. Sambil bersandar, ku kembali menatap sepasang
mata yang selama ini bersama. Ada apakah dengan dirimu? Sehingga tak boleh
bersapa lagi? Adakah yang salah? Kenapa tidak bilang apa salahku? Akhirnya ku
pencet nomer telponnya.
“Tuuuuttt…
Tuuuutttt… Tuuuutttt Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau di luar
area.”
Sekali
lagi ku coba, dua kali, tiga kali sampai akhirnya sepuluh kali. Masih saja
sama. Ahh.. benarkah dia berubah. Aku sms berulang kali tidak dibalas juga.
Jam
telah berangka 10 malam. Masih saja ku coba telpon tapi masih saja tidak
diangkat. Dengan rasa lemas dan gundah, perlahan aku menuju rumah. Rumah
terlihat gelap karena waktu ku tinggal masih terang. Ku buka pintu. Duhh tidak
aku kunci. Semoga tidak ada maling yang ambil kesempatan. Ku raba saklar lampu.
Dan ku tekan. Menyala!
Aku
terkesiap. Saat gelap hilang. Dan berganti dengan warna terang. Ada sesosok
yang sangat ku kenal. Dini. Yang sedari tadi bangun tidur selalu saja aku
pikirkan. Dia tersenyum, matanya tiada lagi sayu.
“
Kenapa ke sini? “ Ahhh pertanyaan bodohku kambuh.
“
Karena memang harusnya di sini.” Dini menjawab pelan. Dia berdiri menghampiriku
yang masih saja tidak percaya tapi bahagia. “Kenapa engkau pulang terlalu
malam?”
“Karena
ku tak tahu harus bagaimana membuang resah memikirkan mu.”
“Padahal
sejak senja tiba aku sudah di sini. Ku lihat kamu melaju keluar.” Kata Dini
“Hei
kenapa engkau tak panggil aku?”
“
Karena aku pengin melihat hatimu. Apakah engkau memikirkan aku benar benar atau
tidak.
“Engkau
ini.. terlalu sesak dada ini penuh dengan namamu. Aku telpon dan sms kenapa
tidak di balas?”
Dini
tersenyum. “waktu itu akupun melihat handphone ku. Ingin ku angkat, tapi aku
tidak mau sekedar suara. Aku menginginkanmu langsung di hadapanku. Sehingga
bisa ku lihat nyata, apa yang selama ini engkau katakan. Karena sesungguhnya
bukan kamu saja yang merasakannya. Akupun iya, hanya saja kupendam dalam diam.
Ku
tatap matanya. Mata itu kembali bercahaya. Bahkan malam ini lebih bercahaya..
0 komentar:
Posting Komentar