Kamis, 13 Februari 2014

Malam Malam Majnun





 | 13 October 2013 | 20:33

Sekali lagi sosok berambut sebahu itu datang. Menawarkan senyum yang begitu menawan. Bahkan seekor merakpun tak akan lupa bila melihat sunggingan di bibirnya. Sedang aku di sini, di tepi sendang ini, tidak mengerti akan takdir yang sedang terjadi. Aku bukan Jaka Tarub yang dapat rezeqi beristri seorang bidadari. Ataupun si Damarwulan yang bejo karena disukai oleh sang maha dewi ratu majapahit. Aku hanyalah cantrik. Yang hidup Cuma dari hitung hitungan untung dan rugi. Bukan artis yang pintar bersolek demi sepiring duit. Sampai saat ini aku masih tidak mengerti dengan takdir yang sedang terjadi.

Wanita itu begitu memikat. Tak tahu kenapa aku harus seperti ikan yang terjerat. Tapi begitulah takdir yang menjadikan segala sesuatu laksana siklus yang terikat. Yah, aku di sini hanya bisa terpana, pada wanita yang berendam di sendang telaga warna itu. Entah dari mana dia tiba tiba sudah ada di situ. Tersenyum dan melambaikan tangan ke arahku. Ahh, sekali lagi aku melihat air sendang. Tampak dari wajah dan badanku jelas bukan seorang Jaka Tarub. Dengan agak ragu ku mendekat ke arah tengah. Setelah dia melambaikan tangan ke arahku.

Air yang sepinggang terasa dingin oleh kabut yang turun di pegunungan ini. Sedang bulan yang purnama rasanya sudah tidak lagi berguna saat senyum itu terkembang.

“Engkau siapa?” Tanyaku. Baju yang dari perca, rasanya bagai seonnggok sampah, saat ku berada di hadapannya. Dengan sutra hitam tipis dan agak transparan. Selendang beludru warna ungupun menggelayut indah bergerak di tiup angin malam yang terasa ikut terpesona.

“Aku Utusan dari Kahyangan.” Suaranya lembut mendayu.
“hay bagaimana mungkin? Untuk apa juga dari Kahyangan turun ke mayapada ini?” tanyaku heran. Wanita itu tersenyum.
“Untukmu, aku datang karena untukmu. Aku melihat ada sesuatu dalam dirimu. Makanya aku datang ke sendang ini. Di mana tiap malam engkau duduk menyepi.

“Aku, apalah arti aku yang Cuma seorang cantrik.” Kataku tidak percaya.
“Sssttt…” Wanita itu meletakkan tangan ke bibirnya. Mengingatkanku untuk berhenti. Berhentilah merendahkan diri. Tuhan telah memberikan yang terbaik padamu, tapi kenapa masih engkau merasa kurang”

Ku mendekati wanita itu. Dan semakin dekat. Kamipun hanya berjarak satu rentang tangan. Harum tubuhnya bias bercampur aroma malam. “ Iya kah, engkau datang untukku?”
“itu takdirmu, takdir kita.” Senyumnya merekah hingga alampun hening memandang manisnya senyumannya.

****

Sudah satu pekan aku di sendang ini. Orang orang yang lewat pun geleng geleng kepala. Merekapun menyilangkan jemarinya di dahi saat mereka berbincang pada orang yang baru melihatku di sendang. Huaassyeeem.. si borokokok..slompret..apapun itu namanya, inginku sematkan itu di dahi mereka. Enak saja bilang aku gila. Dasar mereka saja yang iri.

Senja hampir padam, saatnya orang lalu lalang di dekat sendang. Pulang dari segala aktivitas mereka. Pejabat, pegawai ataupun buruh pabrik, semuanya lewat sendang ini. Sampai aku hapal dengan segala wajah dan gaya mereka. Si Bokro, pejabat yang jadi pejabat gara gara uangnya banyak, sering lewat. Pagi senyum cengengesan, sore pulang mukanya di tekuk. Terus di Bagyo, sering titip motor lanangnya deket warung Mbok Susah. Ganti baju lusuh, Pulangnya mampir ambil motor, lalu ganti pake dasi. Duduk di bibir sendang. Sendang ini lebih indah tanpa ada semen dan kapur.

****


Rembulan masih saja pucat. Saat perempuan berbalut hitam transparan itu datang.
“Kau tidak seperti yang dulu, kini kau kelihatan kaku, keras dan kosong,” Suaranya mengalir lembut.

Aku masih duduk di tepi sendang. Perempuan itu mendekat. “Bangun dan bergegaslah bersamaku.”

Ku ulurkan tangan ini. Jemari lentiknya lembut menyambut. Ada kehangatan yang menjalar menyusupi nadi.

“Mari bersamaku.”  Aroma tubuhnya menyerbak membungkus tubuhku. Tak terasa tubuh ini semakin naik. Dan tubuhku dan sosok indah itu telah sampai ke pucuk randu hanya dengan selendang ungunya. Ahh, ini sungguh diluar logika. Bagaimana mungkin aku bisa di sini. Memberontak akan hukum alam. Tapi ini benar benar terjadi. Aku melayang bersamanya. Bersama sosok berkain hitam transparan ini. Apakah dia seorang dewi, malaikat, atau bidadari?Apakah ini sebuah halusinasi?

“Jika engkau masih ragu denganku. Kemarilah, dekap aku. Karena dengan begitu engkau akan lebih tahu siapa aku.” Dia berkata bersama angin malam yang sedikit menderu. Seakan membaca apa yang menggumpal di dalam dadaku.

Ku tatap matanya. Bening bagai beningnya embun malam ini. Tanpa berkata akupun mendekatkan raga ini.Dan diapun menyambut dalam pelukan lembut. Kehangatan tiba tiba menyeruak bersama cahaya yang keluar dari raganya. Untuk sesaat aku merasa trance. Dan ku dapati diriku sedang tersandar di sebuah taman. Seperti taman sebuah istana. Serombongan perempuan berpakaian dayanng bergegas melewatiku. Mereka seperti tidak melihatku.

Aku berjalan menyusuri taman. Dan terhenti saat ku melihat seorang perempuan bermahkota warna keemasan. Wajah itu adalah wajah sosok yang ada di sendang itu. Dia menoleh ke arahku. Dan tersenyum seindah waktu di sendang. Hampir saja ku berlari mendekat, tetapi segera ku tahan kakiku, saat kulihat di sudut lain, di balik sebuah pohon. Ada sosok yang sedang duduk di sebuah singgasana. Aku tarik nafas. Siapakah dia? Dia sedang asyik mengamati sebuah kolam yang mungkin saja banyak ikan di dalamnya.
Perempuan bermahkota warna keemasan itu mendekat dan menghormat takdzim pada sosok yang duduk di dalam singgasana. Kemudia pelan ia menuju ke arahku dan tersenyum. Langit tiba tiba gelap. Berganti dengan suasana sendang seperti biasa. Dan aku masih melayang di pucuk randu. Bersama sosok berselendang beludru ungu.

“Engkau sudah tahu khan? Siapa aku.?”
“Iya, aku tahu. Dan aku akan tetap di sendang ini menunggu dan bersamamu.
“Kenapa menunggu? Tidak inginkah engkau datang ke sana agar aku menjadi nyata bersama dirimu?”
“Apakah aku sedang berhalusinasi? Tiba tiba bisa bersamamu, dengan segala keindahanmu?” Tanyaku memastikan.

Dia tersenyum dan berbisik. “Akupun kadang berpikir demikian. Tetapi Sang Penguasa Alam telah menggunakan kuasanya untuk kita dipertemukan. Meski ini sebuah keanehan. Yah sebuah keanehan. Sebab berpuluh tahun hidup di Kahyangan sana, baru ku temukan puisi yang sesungguhnya. Puisi yang selama ini ku rindui. Dan puisi itu ada padamu. Hanya ada padamu.”

Jengkerik masih mengerik bersama suara burung malam mencipta simponi malam.
“Dan memang bersamamulah aku bisa merasakan arti sebuah waktu.” Kataku pelan. “Jika demikian mari kita ciptakan selaksa kisah di setiap malam kita. Setiap masa kita. Tapi ku ingin engkau katakan yang menguatkan jiwaku. Di sinilah aku, selalu mengeja kata meski dalam diam. Selalu ada namamu, meski aku tidak tahu namamu. Karena namamu itu ada pada kesucian dan harapan.

Angin kembali berhembus sedikit mengibarkan rambutnya yang sebahu. Dan rembulan lagi lagi malu dan pucat di balik awan yang sedikit gelap.

“Dengarkanlah wahai puisiku. Sesungguhnya, kemaren, hari ini, esok, lusa dan di masa yang akan datang, ku akan tetap bersamamu sampai akhir masa untukku…”

Dan malampun kembali sunyi. Dan sunyi itu menyimpan berjuta kisah. Malam ini dan malam malam berikutnya.

0 komentar:

Posting Komentar